Index Labels

Pemilu dan Amanah Kepemimpinan

. . Tidak ada komentar:
Hari Senin 9 Desember 2013 menjadi hari pertama bagi Komisioner KPU Pusat. KPU Propinsi dan KPU Kabupaten Jember bekerjasama dengan Universitas Jember melakukan sosialisasi tentang Pemilihan Umum. Aktivitas nasional tentang Pemilu ini digelar di Gedung Rektorat Universitas Jember dengan tiga narasumber. Selain Mas Arief Budiman dari Komisioner KPU Pusat yang memiliki kemampuan spektakuler dalam sosialisasi, dan Mas Widodo dari Universitas Jember yang membahas dari perspektif hukum, penulis diminta untuk menelaah dari "Perspektif Agama".

Tulisan berikut hanya mereview pokok-pokok bahasan yang berkembang di forum. Kita tentunya sepakat, bahwa pemilu dalam pandangan Islam adalah media atau wahana untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Akhir-akhir ini banyak momentum proses seleksi dan suksesi kepemimpinan, seperti: pemilihan Kepala Desa, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pemilihan anggota legislatif (DPRD Kabupaten, DPRD Propinsi, DPR RI, DPD RI) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Yang perlu dipahami bahwa tugas utama pemimpin adalah seperti digambarkan dalam kaidah fiqhiyah: "Tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyah manuth bi al-mashlahah" (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan). Sekarang, banyak kalangan yang mengkritisi proses seleksi kepemimpinan tersebut karena banyaknya kasus-kasus yang mengindikasikan munculnya krisis kepemimpinan di Indonesia.

Islam menegaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin, dan kelak akan ditanya tentang amanah kepemimpinannya. Amanah/kepercayaan adalah asas keimanan, berdasarkan sabda Nabi Saw: "Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah". QS. An-Nisa'(4) ayat 58-59 menegaskan, ada beberapa perintah secara berurutan, seperti: perintah menunaikan amanat kepada pemiliknya, perintah menetapkan putusan yang adil, kemudian perintah taat kepada. Allah, Rasul dan Ulil Amr (mereka yang diberi wewenang mengelola urusan masyarakat, yaitu para pejabat pemerintah). Urutan ayat seperti itu menjadi petunjuk bahwa jabatan serta wewenang kebijakan dan pengelolaan merupakan amanat yang bersumber dari Allah SWT, melalui orang banyak atau masyarakat, dan bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih sendiri siapa yang mereka inginkan untuk maksud tersebut.

Akhir-akhir ini, banyak kriteria yang dirumuskan para ahli, penulis hanya sedikit mengemukakan kriteria yang dinukil dari al-Qur'an, al-Hadits, dan pandangan ulama. Yang pertama, ucapan Puteri Nabi Syuaib yang dibenarkan dan diabadikan dalam al-Qur an (QS. Al-Qashas, 28: 26): "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita), ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Selain itu, ada konsideran pengangkatan Nabi Yusuf sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir yang disampaikan oleh rajanya dan dibadikan dalam al-qur'an (QS. Yusuf, 12:54): "Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar Aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakapcakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".

Kedua, nasehat Nabi Muhammad Saw: "Ketika Abu Dzarrin meminta suatu jabatan, Nabi Saw bersabda: itu adalah amanah, ia adalah nista dan penyesalan di hari kemudian, kecuali yang menerimanya dengan hak (sesuai aturan mainnya), dan menunaikan kewajibannya". Di hadits lain dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Jika amanah disia-siakan maka tunggulah datangnya kehancuran". Ia bertanya: bagaimana menyia-nyiakannya? Jawab Rasul: "Jika pemerintah diberikan kepada selain ahlinya, maka tunggulah kehancuran". (HR. Bukhari).

Dan ketiga, pendapat Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sultlianiyah (1/3): "Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengelola dunia. Jika kita melakukan kalkulasi dampak positif dan negatif pemilu. Positifnya, seperti: (1) bisa melibatkan partisipasi masyarakat konstituen secara luas, sehingga secara teori akses dan kontrol masyarakat terhadap arena dan aktor yang terlibat menjadi semakin kuat, (2) terjadinya kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konstituen untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah. Pemilu sebagai langkah lanjut peningkatan kualitas demokrasi, bisa memposisikan rakyat secara lebih otonom karena dilibatkan sebagai penentu figur pemimpin, (3) memberi ruang dan pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang hebat (memiliki kapasitas, integritas, dan komitmen yang kuat) dan legitimate di mata masyarakat.

Dampak negatifnya, seperti: (1) lebih menonjolkan calon yang populer dan memiliki modal dana besar, meskipun kurang kapabel. Secara teori, tokoh yg berpeluang memenangkan pemilu adalah calon yang memiliki tiga modal: modal politik, modal sosial, dan modal ekonomi, (2) memerlukan biaya yang sangat mahal. Biaya yang mahal tersebut tidak hanya dipakai untuk membiayai pelaksanaan kampanye. Yang tidak kalah penting adalah untuk membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk modal memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan  berlangsungnya kampanye, dan (3) menimbulkan konflik horizontal dan vertikal yang berkepanjangan. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, yang perlu diantisipasi adalah munculnya pihak-pihak yang merasa paling berhak untuk memenangkan pemilu.

Sebagai pamungkas dapat dikemukakan, bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) harus didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang bersifat umum serta menghilangkan kemafsadatan dari mereka (iqamah al-mashalih wa izalah al-mafasid). Dalam implementasinya, mencegah terjadinya kemafsadatan harus didahulukan dari pada upaya mewujudkan kemaslahatan (dar'u al-mafasid muqaddam 'ala jalbi al-mashalih).

Pemilu kita yakini sebagai wahana memilih pemimpin yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya kemashlahatan, maka memilih pemimpin yang memenuhi syarat bagi terciptanya kemashlahatan hukumnya menjadi wajib. Artinya, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan, atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram. Untuk menilai apakah calon-calon yang terdaftar sesuai dengan kriteria kita, kita tinggal melihat website: www.kpu.go.id, karena KPU sudah mempublish biodata setiap calon DPR RI, DPD RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten. "Ayo Memilih, Jangan Golput!" Wallahualam,

* Prof. Dr. H. Abd. Halim Socbahar. MA, adalah Guru Besar Pendidikan Islam STAIN Jember dan Ketua Umum MUI Kabupaten Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar