Index Labels

Bung Karno, Nasibmu! (2)

. . Tidak ada komentar:
Oleh A.S. LAKSANA

Minggu lalu saya menulis dengan perasaan putus asa bahwa saya tidak akan pernah bisa menonton film Soe karno garapan Hanung Bramantyo. Namun rupanya nasib saya tidak apes-apes benar. Sampai Selasa kemarin saya masih bisa menontonnya. Dua hari kemudian, Kamis, film tersebut masih tetap diputar di gedung bioskop dan saya menontonnya sekali lagi.

Pertunjukan diawali dengan tulisan yang meminta penonton untuk berdiri karena ada pemutaran lagu Indonesia Raya --dengan latar belakang gambar bendera merah putih berkibar memenuhi layar. Saya merasa enggan dan memutuskan tetap duduk, di sebelah saya penulis YusiAvianto Pareanom berbuat sama, sementara orang-orang lain berdiri. Ini pemutaran film komersial dan bukan upacara kenegaraan dan saya membeli tiket untuk menontonnya. Saya akan berdiri nanti dan bertepuk tangan kalau film itu selesai dan saya puas menontonnya. Namun, menjadi berbeda dari orang-orang lain bagaimanapun agak tidak enak juga dan saya merasa sangat lega setelah lagu berakhir dan orang-orang kembali duduk.

Sebelum membahas film secara keseluruhan, saya ingin menyampaikan rasa kagum saya bahwa film ini tampil dengan fotografi yang menjanjikan dan beberapa rekonstruksi peristiwa sejarah digarap secara baik. Sayang,  musik ilustrasinya cenderung kencang terus, seperti berusaha keras untuk didengar. Musik ilustrasi yang baik, Anda tahu, seringkah justru tidak terasa kehadirannya.

Film dibuka dengan adegan penangkapan di Jogjakarta, 1929, oleh polisi Hindia Belanda. Dalam situasi ketika kawan seperjuangannya ditekan untuk memberi tahu, Soekarno muncul di layar, tinggi dan gagah dan ia berdiri memunggungi kamera. "Saya di sini," katanya. Suaranya tegas dan tanpa rasa gentar. Seolah-olah kita diberi janji bahwa tokoh utama film ini adalah pahlawan yang tak kenal takut dan akan selalu sanggup lolos dari situasi sesulit apa pun seperti James Bond.

Rupanya tidak begitu. Film ini bergerak mengingkari janji dengan menonjolkan sosok Soekarno sebagai antek Jepang. Ia hampir selalu digambarkan sebagai orang loyo di hadapan Dai Nippon dan kerap melamun dalam situasi genting karena memikirkan Fatmawati. Kesan yang muncul adalah ia memang seorang pengecut, sebagaimana yang diteriakkan oleh Sjahrir di salah satu scene yang menggambarkan Bung Kecil itu meninggalkan rumah Bung Hatta dengan amarah yang tak terbendung, seusai ribut dengan Bung Karno.

Pada bagian lain, tafsir Hanung atas peran Bung Karno menyukseskan pengerahan romusha benar-benar menjadikan Soekarno sebagai tokoh yang sangat menjijikkan. Digambarkan si Bung berfoto di lokasi kerja paksa. Ia diatur-atur oleh juru foto, disuruh tersenyum, sementara para romusha jatuh satu demi satu bersimbah darah dalam adegan memecahkan batu-batu di bukit tandus, persis adegan awal film Spartacus.

Tidak pernah digambarkan bagaimana Bung Karno berinteraksi dengan para romusha. Menurut saya, jika adegan itu ada, kita akan tahu bagaimana perasaan Soekarno, kenapa ia letap dipercaya oleh rakyat, dan bagaimana ia melakukan sesuatu untuk tetap mendapatkan kepercayaan dari rakyat.

Film ini tidak melakukan eksplorasi semacam itu. Padahal, sebetulnya ada informasi pendahuluan yang menarik dalam scene ketika Bung Karno bercakap-cakap dengan Inggit Garnasih. Scene itu mengulang informasi sebelumnya tentang niat Belanda untuk membawa lari Bung Karno ke Australia karena takut ia akan dimanfaatkan oleh Jepang. Inggit menjawab, "Atau sebaliknya, Kus, kau yang memanfaatkan mereka."

Dalam teknik penceritaan, ini disebut foreshadowing, semacam isyarat atau janji tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi foreshadowing ini menjadi sesuatu yang mubazir karenaHanung lagi-lagi tidak menepati janji. Maka kita tidak pernah melihat apa motif Soekarno sebenarnya sehingga ia memilih menempuh siasat kerja sama yang membuatnya dicemooh oleh Sjahrir dan para pemuda.

Pelukisan tokoh-tokoh lain juga mengundang tanda tanya. Sjahrir digambarkan selalu mengamuk, Bung Hatta yang banyak berpikir tampak di layar sebagai orang yang kebingungan dan seperti hendak menangis. Dan yang paling parah adalah Sukarni. Pemuda yang bersama Wikana dan lain-lain membawa paksa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok ini digambarkan sebagai badut. Saya tidak tahu apakah Sukarni benar-benar sebadut itu, tetapi sejarah memberi tahu bahwa ia adalah pemuda yang dikader oleh Tan Malaka, tokoh yang sangat serius, dan kelak Sukarni ditunjuk oleh Tan Malaka sebagai ketua umum Partai Murba.

Saya kira kelemahan utama film ini adalah Hanung mengabaikan unsur-unsur penceritaan. Termasuk mengabaikan motif, dalam dua pengertian leksikalnya, yakni alasan bagi setiap tindakan dan pola berulang di dalam cerita. Akibatnya, sejumlah kejadian dan tindakan di dalam film dibiarkan menggantung begitu, atau dicomot begitu saja dari buku sejarah tanpa upaya untuk menghidupkannya dengan detail.

Misalnya, setelah menjadi istri Bung Karno, Fatmawati digambarkan hamil dan menjahit bendera --semata-mata karena sejarah memberi tahu bahwa yang menjahit bendera pusaka adalah Bu Fat. Kita tidak tahu kenapa tiba-tiba muncul adegan Bu Fat menjahit bendera, atas permintaan suaminya atau inisiatifnya sendiri, warna putih dari kain apa dan warna merah dari kain apa.

Tidak ada scene antara Bung Karno dan Bu Fat yang memberi informasi berarti, setelah mereka menjadi suami istri. Demikian pula antara Bung Karno dan Bu Inggit. Apa yang dilakukan oleh Bu Inggit ketika suaminya melemah dalam pembuangan, apa saja yang telah dilakukannya untuk mendukung perjuangan suami (selain sekali ditunjukkan ia mengeluarkan simpanan uang kepingnya saat Bung Karno ditangkap dan ditahan —tidak jelas juga untuk apa). Saya agak terkejut ketika akhirnya Bu Inggit, dalam dialog setelah perceraian, membuat pernyataan yang intinya ia sudah cukup puas telah mengantarkan si Kus ke gerbang.

Astaga! Apa yang dilakukan Bu Inggit sehingga muncul kalimat perpisahan seperti itu? Setahu saya, dalam film itu Bu Inggit hanyalah istri yang ikut saja saat suaminya dibuang ke Ende, kemudian ke Bengkulu, kemudian ngamuk menampar suami dan membanting barang-barang ketika suaminya jatuh cinta pada Fatmawati. Ia tidak ikut berpikir, tidak memberi saran apa pun, tidak berupaya membesarkan hati jika suaminya melemah. Pendeknya, ia hanya istri yang nderek suami ke mana-mana.

Kegagalan membangun cerita semakin diperjelas dengan sering munculnya teks di layar untuk menjembatani fragmen demi fragmen. Teman saya, Pandu Ganesa, penggagas Paguyuban Karl May Indonesia, menyampaikan pernyataan menarik tentang ini: "Secara filmis, banyaknya momen di mana penonton dipaksa untuk membaca menandakan pembuatnya belum cukup pintar untuk bertutur secara gambar dan dialog."

Masalah di luar cerita adalah akurasi. Misalnya, Soekarno membandingkan kesenjangan pendapatan pertahun antara pribumi dan orang-orang Belanda dengan satuan mata uang rupiah. Pada 1930, ketika Bung Karno membacakan pidato pembelaan di depan sidang, yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia Menggugat, mata uang rupiah belum ada.

Lalu sapaan "Bung". Di film ini sapaan "Bung" sudah digunakan dalam adegan penangkapan pada 1929. Menurut sejarawan Universitas Indonesia J.J. Rizal, sebutan ini baru muncul di sekitar 1945-an. Dari tulisan lain yang saya dapatkan di internet, sebutan ini sudah digunakan di Bengkulu sejak 1850. Itu sebutan untuk kakak lelaki tertua atau istri kepada suami. Jadi, sebutan itu kemungkinan dimulai oleh Fatmawati setelah menjadi istri Soekarno. Namun, dalam film ini, Fatmawati justru menyebut Soekarno dengan panggilan "Mas". Artinya, ia tidak mempertahankan sebutan khas Bengkulu kepada suaminya dan justru menyesuaikan diri dengan kejawaan sang suami.

Sekiranya benar bahwa Fatmawati menggunakan sebutan "Mas" untuk suaminya, maka sebutan "Bung" mungkin didapat oleh Soekarno di masa pembuangannya di Bengkulu, sejak 1937. Dan jika ini benar berarti sebutan "Bung" di adegan pembuka keliru.

Saya mungkin tampak terlalu kejam dalam menilai film ini. Mungkin seperti itu, saya tidak suka menoleransi mediokritas dan pengerjaan yang teledor. Tapi sesungguhnya saya sedih. Bung Karno adalah manusia Indonesia yang riwayat hidupnya penuh warna. Anda bisa ambil periode mana pun dari kisah hidupnya untuk mendapatkan cerita yang menarik. Terhadap tokoh yang seperti ini, Hanung telah sukses menjadikannya njelehi. Bagaimana mungkin tokoh sepengecut Soekarno versi film ini bisa dipercaya menjadi pembaca naskah proklamasi?

Di luar kekecewaan itu, saya berterima kasih kepada Tika Bravani yang telah memerankan Fatmawati secara bagus. Satu hal lagi yang paling saya suka dari film ini adalah lagu temanya, Wanita karya Ismail Marzuki. Lagu ini memberi tahu kita bahwa di masa lalu kita pernah punya komposer hebat.


* Akun twitter: @aslaksana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar