Index Labels

Anakmu Adalah Anakmu

. . Tidak ada komentar:

Oleh NUGROHO SUKSMANTO

Aku tak menyia-nyi akan tawaran Hafadzhah, malaikat pencatat amal manusia. Sewaktu kesempatan reinkarnasi menjadi keniscayaan, tawarannya saat itu juga kuterima. Seketika aku meretas dari sosok atman menjadi getar sukma, melesat dari alam barzah ke alam fana. Biarlah kehidupan di dunia kujalani lagi untuk memperbaiki diri agar kelak berkemampuan moksa menggapai nirwana.

Lebih baik ini kulakukan daripada singgah di alam penantian berselimut noda; dosa lelaki pezinah yang gemar selingkuh, bercinta bukan dengan istri, tanpa kesadaran akan tanggung jawab. Ternyata aku terdampar di rahim perempuan yang ternoda dosa perselingkuhan. Inilah mungkin rupa karma bagi diriku. Sebagai janin yang fitri, kesadaranku terusik oleh sikap laki-laki yang menghamili ibuku. Karena dia seorang seniman bergelar bangsawan, aku merasa berkewajiban mengetuk pintu hatinya, menggugah kesadaran laki-laki itu.

"Siapa bilang aku bukan anakmu, Romo?" Pertanyaan ini kukemukakan mengawali unek-unek panjang yang ingin kuutarakan, ketika tersibak keraguan dalam dirinya menanggapi kehamilan Mirah, yang kelak akan menjadi ibuku.

Tak selayaknya keraguan itu engkau utarakan, Romo, walau hanya berupa bahasa isyarat, yang menunjukkan keengganan menyongsong kelahiranku nanti. Sepantasnya kutanyakan kepadamu: apa sebenarnya yang melatari terjadinya percintaan antara engkau dan perempuan yang kau anggap sebagai teman kencan semata?

Aku percaya, tentu itu bukanlah sebuah perkosaan, karena peristiwa ini terjadi berselang hari dan berulangkah di peraduan peristirahatanmu. Namun, alasan "suka sama suka" adalah pernyataan yang berkesan merendahkan atau bahkan meruntuhkan keluhuran bercinta. Seolah bercinta diciptakan Tuhan sebagai sebuah peristiwa pelampiasan keisengan dua insan yang ingin mencari kesenangan. Bercinta sejatinya adalah peristiwa sakral, pertautan suci sangat indah yang mewarnai relung paling dalam dan sangat pribadi. Bercinta diawali dari prosesi pernikahan dan kemudian menjadi ritual yang diwajibkan bagi suami istri. Ia juga sebagai kulminasi kasih sayang yang harus terus-menerus diwujudkan, selama masih berkemampuan demi kelanggengan dan keserasian bahtera perkawinan.

Memang, bercinta dihadirkan sebagai sebuah peristiwa yang membuahkan ekstasi; kenikmatan puncak yang menggetarkan saraf hingga merasuk sampai ke sumsum dan ubun-ubun. Percintaan dan percumbuan selalu menggoda dan didambakan laki-laki maupun perempuan. Namun kenikmatan yang kau rengkuh dengan menyatakan alasan "suka sama suka" tidak hanya menunjukkan sebuah pelacuran yang kurang sempurna, sebuah zina yang patut dihukum rajam menurut Islam, bila tak disertai pertobatan.

Pernyataanmu itu juga menyiratkan sebuah awal pengingkaran akan tanggug jawab. Seharusnya kenikmatan yang kalian reguk bersama harus disertai kesadaran akan konsekuensi bahwa dengan bercinta, proses pembuahan sangat mungkin terjadi. Pembuahan yang melahirkan janin yang akan tumbuh menjadi jabang bayi.

Bercinta, dengan demikian, bukanlah jenis kenikmatan seperti kenikmatan yang didapat dari menyantap hidangan atau kesenangan saat berekreasi, yang kemudian dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, dengan dilengkapi alat pengaman pembungkus kemaluan, untuk menghindari penularan penyakit dan mencegah terjadi kehamilan. Kini, dengan kehadiranku sebagai janin yang tumbuh di rahim perempuan yang kau cumbu, moralitasmu diuji.

Romo, telaah moral ini menjadi sangat penting, ketika engkau juga menyandang status dan kedudukan sebagai seniman kondang; manusia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budaya. Tentu engkau memahami bahwa bercinta sebagai peristiwa yang sakral, menuntut kesucian serta keikhlasan jiwa dan raga kedua pelakunya. Bukan hanya pelampiasan nafsu berahi yang kemudian berbuah tindakan asusila yang menjijikkan dan tak terpuji.

Seniman, memang sering tak mau berlindung hanya dari selembar kertas yang mengesahkan hubungan intim. Namun, seniman sejati tak pernah melepaskan "rasa" yangmemberi makna atas keindahan percumbuaan atau percintaan, rasa yang muncul dari perenungan dan penghayatan, yang tidak hanya diwarnai kemesraan.

Lebih dari itu, ia akan melahirkan sebuncah kasih sayang; buah cinta dua insan, yang melatari setiap kelindap percumbuan. Juga cinta yang melahirkan rasa yang kemudian membuahkan kasih sayang.

Itulah yang seharusnya menjadi dian penerang pikiran dan perasaan laki-laki. Juga sebagai pijakan moral manakala pertanggungjawaban perlu ditunjukkan untuk menghadapi "keadaan yang memaksa" seperti keberadaanku sekarang ini. Keadaan yang memungkinkan aku yang berawal dari jentik manusia bernyawa tumbuh berkembang menjadi janin yang tak menginginkan dimusnahkan dengan dibuang melalui kuret atau pengguguran.

Dalam situasi seperti ini, kasih sayanglah yang pada akhirnya kuharapkan muncul dari lubuk hatimu, Romo. Kasih sayang yang membuahkan kesadaran untuk membahagiakan selingkuhanmu, yaitu ibuku. Romo bisa memberikan berbagai pilihan kepadanya agar dapat dipetik secara bijak, dengan tetap mengakui keberadaanmu sebagai bapakku.

Untuk itu, sebagai laki-laki Romo harus mendatangi langsung, sendiri, ibuku. Kemudian mengutarakan niat Romo di hadapan keluarga ibu, dengan segala akibat yang akan kau alami. Terimalah cacian, makian, dan segala bentuk kemarahan dari mereka yang mungkin saja sangat menyakitkan hati. Ini adalah sebagian harga yang harus kau bayar atas kenikmatan dari perselingkuhan yang kau lakukan.

Adapun pilihan pertama yang harus kau hadirkan adalah meminangnya menjadi istri, menutup keraguanmu akan kesetiaannya. Dengan demikian Romo telah menyatakan bahwa engkau adalah satu-satunya tamu di rahim ibuku, dan bersedia secara bersama-sama menyongsong kehadiranku. Bila pilihan ini diterima oleh mereka, dengan menyadari keterbatasan yang ada pada dirimu, bahwa engkau adalah seorang lelaki berumur yang telah memiliki anak dan istri, patutlah bersyukur. Sebab, ini adalah sebuah karunia. Ini harus Romo rasakan sebagai uluran tangan Tuhan yang menyatukan dua insan; engkau dan Mirah, ibuku, yang memberikan kesempatan kepadamu untuk memiliki istri lagi, yang telah membuahkan janin di dalam rahim. Dan janin itu adalah aku, anakmu!

Anakmu adalah anakmu, Romo. Namun, Romo jangan berharap bahwa pinangan yang Romo sampaikan serta merta diterima oleh mereka. Mungkin karena pernyataan dan sikap Romo yang telah menyakitkan hati, dan atau karena Romo tidak memenuhi syarat-syarat menjadi suami seperti yang mereka harapkan, membuatnya ragu untuk menyerahkan ibuku sebagai istri Romo, dan kemudian, ibuku didukung keluarganya memilih untuk hidup dan mengasuh serta membesarkan anaknya, sendiri, yang dikenal sebagai kehidupan single parent.

Kalau memang begitu pilihannya, hargailah keputusan mereka, dengan tanpa mengurangi kesediaan Romo untuk tetap seterusnya bertanggung jawab atas konsekuensi menanggung beban biaya hidup mereka. Atau mungkin mereka memiliki pilihan lain dengan menghadirkan laki-laki yang bersedia menjadi suami ibuku, yang diikuti peraduan dalam sebuah acara pernikahan, yang membuat secara formal laki-laki itu sah menjadi bapakku.

Untuk yang satu ini, Romo harus berlapang dada. Tetapi percayalah Romo bahwa aku akan tetap anakmu. Aku adalah darah dagingnu. Sosokmu akan melatari dan mewarnai hidupku, untuk kelak mewarisi semangat dan kemampuan yang Romo miliki. Tiada siapa pun yang mampu menghalangiku untuk mencarimu dan selalu ingin dekat denganmu. Asalkan, Romo menyadari kesalahan dan bertobat, serta kemudian menjalani hidup berlandaskan panduan moral yang diridai Tuhan.

Romo, meminta maaflah kepada Biyung, istrimu, dan si Upik yang akan menjadi kakakku nanti. Rasanya, dengan besarnya kasih sayangmu yang telah kau limpahkan kepada mereka hingga sekarang ini, mereka akan mau mengerti akan musibah yang terjadi. Tentu mereka sangat menyesalkan tindakanmu. Batinnya pasti merintih sebagai perempuan yang dikhianati.

***

Dan kepadamu Ibu, aku memahami jeritan harimu menghadapi musibah yang memalukan ini. Aku tak ingin mengungkit kesalahan yang kau lakukan hingga peristiwa ini terjadi. Yang ingin kutanyakan adalah mengapa aib ini dapat menyebar menjadi kabar liar yang sangat memalukan, sehingga memungkinkan pihak-pihak yang ingin dikenal masyarakat melalui pemberitaan media, menunggangi. Bukankah seharusnya untuk kepentingan dirimu serta keluarga, dan kepentinganku khususnya, kejadian ini harus rapat-rapat ditutupi, hingga tidak menjadi aib yang melatari hidupku dan mencoreng nama baik seluruh keluarga kita.

Sudah cukupkah upayamu untuk meminta pertanggungjawaban Romo, dengan berbicara intens dari hati ke hati? Apakah upaya Ibu ternyata tidak membuahkan kesepakatan, atau hanya menemukan jawaban pengingkaran hingga Ibu memilih jalan lain untuk menghukumnya dengan menutup pintu penyatuan dua insan yang terlibat perselingkuhan, yang seharusnya bersama-sama mempertanggungjawabkan?

Apakah engkau tidak menyadari, Ibu, bahwa sebenarnya sekarang ini engkau telah terpedaya oleh rayuan bidadari-bidadari, yang menawarkan angin surga untuk kebahagiaanmu, dengan janji memperjuangkan dan mengembalikan martabatmu yang hilang, sebagai perempuan yang dinista dan dilecehkan?

Apakah benar engkau dinista dan dilecehkan, Ibu, hingga engkau hanyut dalam suasana terlupa untuk memahami keinginanku yang hakiki sebagai bayi? Keinginanku saat ini hanya; ketika lahir nanti memiliki bukti bahwa aku bukan anak haram yang ditinggalkan dan tak diakui.

Yang ku khawatirkan, bidadari-bidadari yang tak pernah berpikir untuk beranak-pinak, perilakunya seperti Dewi Nawangwulan, yang kemudian meninggalkan anaknya, buah perkawinan dengan Joko Tarub, dengan kembali ke surga, permukiman asalnya; alam mimpi yang hanya menyuguhkan bayangan kenikmatan.

Aku takut, kepedulian mereka, bidadari-bidadari itu, hanyalah perjuangan kepentingan gender kaum perempuan, sosok yang harus terbayang mulia sebagai makhluk anggun dan lembut yang mudah terperdaya. Itu aku mengerti dan sangat mendukung perjuangannya untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan menempatkan kedudukan perempuan dalam kesetaraan dengan laki-laki. Namun dalam kaitan persoalan ini, bukankah seharusnya kepentingan janin sepertiku yang harus lebih dikedepankan? Mengapa keinginannya sama sekali tak dihiraukan? Kini, yang terlihat hanya keriuhan yang diwarnai ungkapan saling menyalahkan.

Bila memang engkau dilecehkan, Ibu, hukumlah Romo sebesar-besarnya. Tunjukkan jati dirimu, dengan tampil sebagai perempuan tegar yang tidak hanya menangis di ketiak bidadari, jadilah pegiat emansipasi, berjuanglah untuk memperoleh kesamaan hak yang merupakan sesuatu yang sangat asasi. Bila itu kau lakukan, aku akan sangat bangga sebagai anakmu, Ibu. Untuk itu, aku akan menyertaimu untuk memberikan hukuman setimpal kepada Romo dan memerangi kaum laki-laki yang berbuat serupa nanti.

***

Kembali padamu, Romo, aku ingin mengucapkan salam. Satu-satunya yang masih menenteramkan hatiku walaupun dicaci-maki, engkau tetap diam dan hanya menyesali diri. Dan, kepada Ibu, aku hanya ingin berpesan dengan mengingatkan; rasakan detak jantungku, dengarkan bisikan sukmaku. Kiranya dengan itu engkau akan memahami apa yang kudambakan dan membuatmu lebih tegar serta bijak menghadapi tantangan hidup dan kehidupan.

Dua bulan lagi aku lahir, aku berharap semoga sebelumnya kericuhan telah berakhir.


Bintaro Jaya, 8 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar